Menurut Robert Gilpin (2001) dalam
artikelnya yang berjudul State and Multi
National Corporations, kehadiran Multi
National Corporation (MNC) membawa dampak positif sekaligus negatif bagi negara
penerima. Sisi positifnya adalah berkembangnya kegiatan Foreign Direct Investment (FDI) yang artinya menambah penerimaan
pajak. Contohnya di Indonesia adalah Coca
Cola Bottling yang pertama kali berinvestasi di Indonesia pada tahun 1992. Di
tahun 2011, Coca Cola Bottling
memiliki jumlah karyawan sekitar 10.000 orang. Jutaan krat produknya
didistribusikan dan dijual melalui lebih dari 400.000 gerai eceran yang
tersebar di seluruh Indonesia. Namun terkait dengan aspek perpajakan ini, MNC
dengan lingkup pasar global memiliki peluang besar dalam melakukan penghindaran
pajak/tax avoidance demi memperbesar
marjin laba dan meningkatkan daya saing di pasar global. Kesempatan tax avoidance oleh MNC dapat dilakukan dalam
banyak hal dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yaitu pendirian
afiliasi dengan memanfaatkan perbedaan code of tax, mengatur struktur modal afiliasi
dan mengatur realisasi capital gain afiliasi.
Dibanding pengaturan struktur modal maupun realisasi capital gain, pemanfaatan perbedaan code of tax merupakan upaya utama tax avoidance oleh MNC di Indonesia. Perbedaan code of tax besaran tarif pajak atas bunga dan dividen di suatu
negara memberikan pilihan bagi MNC dalam menempatkan afiliasinya. Dengan
meningkatnya tarif pajak di tempat afiliasi berdiri, MNC tergelitik untuk
melakukan pengaturan struktur modal. Selama afiliasi MNC tersebut beroperasi, adanya
peraturan mengenai pajak atas capital
gain menjadi pertimbangan manajemen MNC dalam mengatur timing realisasi capital gain.
Dengan demikian, upaya tax avoidance pada
dasarnya disebabkan oleh perbedaan code
of tax di berbagai negara. Sehingga, pemanfaatan perbedaan code of tax menjadi hal pertama yang dilihat
MNC sebelum melakukan pengaturan struktur modal dan realisasi capital gain.
Pertama, dalam tahap penentuan lokasi,
mari kita lihat kesempatan MNC untuk melakukan tax avoidance berdasarkan perbedaan code of tax. Untuk mengembangkan usahanya, tahap awal yang
dilakukan oleh MNC adalah
menentukan dimana tempat holding dan afiliasinya
akan didirikan. Pemilihan tempat ini sangat berkaitan dengan kewajiban
perpajakan MNC. Peraturan perpajakan atas pendapatan bunga dan dividen
di berbagai negara berbeda satu sama lain sehingga muncul istilah tax haven country. Tax haven country
menjadi pilihan utama bagi para investor untuk berinvestasi dalam bentuk FDI maupun
Portofolio Investasi (PI). Perbedaan code
of tax ini menjadi celah empuk bagi MNC dalam
melakukan tax avoidance.
Di Indonesia, perusahaan afiliasi MNC dapat memanfaatkan perbedaan code of tax dengan cara membeli bahan
baku dari perusahaan grup di negara bertarif pajak rendah dan mengalihkan biaya
usaha ke negara bertarif pajak tinggi seperti Inggris. Cara untuk mengatasi
permasalahan tax avoidance ini adalah
dengan keterbukaan informasi atau kredit
pajak. Namun, solusi tersebut baru dapat efektif jika semua negara patuh atas
perjanjian ini, termasuk tax haven
country. Pada kenyataannya, hal ini hampir mustahil diwujudkan karena tax haven country tidak ingin kehilangan
keuntungan atas banyaknya arus investasi yang masuk ke negaranya. Oleh karena
itu, pemanfaatan code of tax
merupakan kesempatan utama yang dilirik oleh MNC
dalam kompetisi tax avoidance menentukan
dimana MNC akan membuka
afiliasinya. Seperti yang diungkapkan Guttorm Schjelderup (2002) dalam jurnal
ilmiahnya yang berjudul International
Capital Mobility and the Taxation of Portfolio Investments , “Since portfolio investments are highly
mobile internationally, national differences in tax rates may lead to
competition over national tax bases, hamper the efficiency of international
capital markets, and lead to the construction of tax minimizing portfolios”.
Kedua, setelah
menentukan lokasi berdasarkan code of tax
yang paling menguntungkan, kesempatan yang dimiliki MNC ada dalam tahap
pengaturan struktur modal afiliasi. Code
of tax di suatu negara mempengaruhi kebijakan struktur modal perusahaan. MNC
memiliki jaringan modal yang besar di berbagai tempat dengan berbagai kondisi.
Dibanding perusahaan lokal di Indonesia, MNC memiliki keunggulan dalam hal chanelling saat mencari pendanaan eksternal
karena akses pada pasar modal global. Ketika tarif pajak naik, MNC menjadi
kreatif dalam mengatur struktur modalnya. Di Indonesia, pembayaran bunga dapat
menjadi pengurang pajak sedangkan dividen tidak, sehingga struktur modal
afiliasi dapat didominasi oleh utang dengan bunga tinggi dari perusahaan induk.
Akhirnya komposisi utang menjadi lebih besar daripada ekuitasnya. Ketika MNC berhutang
kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar kembali cicilan dengan bunga
sangat tinggi, hal ini dapat menjadi dividen terselubung ke perusahaan induk. Untuk
menghadapi upaya tax avoidance ini, Indonesia
perlu melakukan pembatasan tarif bunga pinjaman ke perusahaan induk. Hal ini
membuktikan bahwa kesempatan MNC dalam mengatur struktur modal tergantung pada
kebijakan code of tax di negara
tempat afiliasinya berdiri. Pada tahun 2003, Mihir A. Desai, C. Fritz Foley and
James R. Hines Jr. dalam jurnal ilmiah yang berjudul A Multinational Perspective on Capital Structure Choice and Internal
Capital Markets menyatakan bahwa, “Ten
percent higher local tax rates are associated with 2.8 percent higher
debt/asset ratios, with internal borrowing particularly sensitive to taxes.”
Ketiga, dalam tahap operasi di negara
tempat afiliasinya berdiri, MNC berkesempatan melakukan tax avoidance dengan menentukan kebijakan realisasi capital gain. Code of tax terkait realisasi capital gain juga mempengaruhi perilaku MNC dalam menentukan ukuran
serta jumlah investasi mereka dalam bentuk aset investasi. Lebih mikro pada
perilaku, pengaruh ini terlihat dalam hal pengaturan timing perusahaan dalam mendisposal aset investasinya, keputusan
pengakuan rugi laba atas disposal modal, serta keputusan merger atau penghapusan lini bisnis. Kapan dan berapa besarnya capital gain yang direalisasi menjadi
peluang pengaturan besarnya pajak atas merger,
Property Plant Equipment (PPE)
perusahaan properti, dan capital gain
pelepasan saham. Kebijakan pajak atas capital
gain berbeda di setiap negara sesuai code
of tax negara masing-masing. Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada
tahun 2008 telah memberi fasilitas menggunakan nilai buku untuk menetapkan
nilai aset, tanpa harus melakukan persyaratan likuidasi dan tidak melakukan
revaluasi sehingga capital gain tidak
akan timbul. Namun, perusahaan tidak diperkenankan mengalihkan kerugian atau
sisanya ke perusahaan baru pada saat merger.
Artinya, afiliasi MNC di Indonesia tidak dapat memanfaatkan kesempatan
kebijakan realisasi capital gain saat
merger. Hal ini membuktikan bahwa
kebijakan MNC mengenai realisasi capital
gain dalam upaya tax avoidance
masih sangat tergantung pada code of tax
di negara tempat afiliasi didirikan. “The
micro analysis suggests that the realization of gains appears to be
particularly shaped by tax incentives (Mihir A. Desai, 2003)”.
Dari pemaparan
di atas, kita mengetahui bahwa MNC memiliki kesempatan yang bertahap untuk
melakukan tax avoidance. Dalam tahap awal,
kesempatan MNC berkaitan dengan adanya perbedaan code of tax di berbagai negara sasaran holding atau afiliasi MNC didirikan. Setelah afiliasi berdiri,
kesempatan tax avoidance selanjutnya
terkait dengan pengaturan struktur modal dengan memperhatikan code of tax. Di tahap operasi, MNC
berkesempatan memilih kebijakan realisasi capital
gain juga dengan mempertimbangkan code
of tax. Artinya, kebijakan
mengenai pengaturan struktur modal dan realisasi capital gain dilakukan setelah MNC menilik dalam-dalam code of tax di negara tempat afiliasinya
berdiri. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dari ketiga upaya
yang dapat dilakukan oleh MNC, pemanfaatan perbedaan code of tax merupakan upaya utama untuk melakukan tax avoidance dan mendasari dua cara
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar