Rabu, 11 Februari 2015

Membedah Kesempatan MNC dalam Kompetisi Tax Avoidance



Menurut Robert Gilpin (2001) dalam artikelnya yang berjudul State and Multi National Corporations, kehadiran Multi National Corporation (MNC) membawa dampak positif sekaligus negatif bagi negara penerima. Sisi positifnya adalah berkembangnya kegiatan Foreign Direct Investment (FDI) yang artinya menambah penerimaan pajak. Contohnya di Indonesia adalah Coca Cola Bottling yang pertama kali berinvestasi di Indonesia pada tahun 1992. Di tahun 2011, Coca Cola Bottling memiliki jumlah karyawan sekitar 10.000 orang. Jutaan krat produknya didistribusikan dan dijual melalui lebih dari 400.000 gerai eceran yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun terkait dengan aspek perpajakan ini, MNC dengan lingkup pasar global memiliki peluang besar dalam melakukan penghindaran pajak/tax avoidance demi memperbesar marjin laba dan meningkatkan daya saing di pasar global. Kesempatan tax avoidance oleh MNC dapat dilakukan dalam banyak hal dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yaitu pendirian afiliasi dengan memanfaatkan perbedaan  code of tax, mengatur struktur modal afiliasi dan mengatur realisasi capital gain afiliasi. Dibanding pengaturan struktur modal maupun realisasi capital gain, pemanfaatan perbedaan code of tax merupakan upaya utama tax avoidance oleh MNC di Indonesia. Perbedaan code of tax besaran tarif pajak atas bunga dan dividen di suatu negara memberikan pilihan bagi MNC dalam menempatkan afiliasinya. Dengan meningkatnya tarif pajak di tempat afiliasi berdiri, MNC tergelitik untuk melakukan pengaturan struktur modal. Selama afiliasi MNC tersebut beroperasi, adanya peraturan mengenai pajak atas capital gain menjadi pertimbangan manajemen MNC dalam mengatur timing realisasi capital gain. Dengan demikian, upaya tax avoidance pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan code of tax di berbagai negara. Sehingga, pemanfaatan perbedaan code of tax menjadi hal pertama yang dilihat MNC sebelum melakukan pengaturan struktur modal dan realisasi capital gain.
Pertama, dalam tahap penentuan lokasi, mari kita lihat kesempatan MNC untuk melakukan tax avoidance berdasarkan perbedaan code of tax. Untuk mengembangkan usahanya, tahap awal yang dilakukan oleh MNC adalah menentukan dimana tempat holding dan afiliasinya akan didirikan. Pemilihan tempat ini sangat berkaitan dengan kewajiban perpajakan MNC. Peraturan perpajakan atas pendapatan bunga dan dividen di berbagai negara berbeda satu sama lain sehingga muncul istilah tax haven country. Tax haven country menjadi pilihan utama bagi para investor untuk berinvestasi dalam bentuk FDI maupun Portofolio Investasi (PI). Perbedaan code of tax ini menjadi celah empuk bagi MNC dalam melakukan tax avoidance. Di Indonesia, perusahaan afiliasi MNC dapat memanfaatkan perbedaan code of tax dengan cara membeli bahan baku dari perusahaan grup di negara bertarif pajak rendah dan mengalihkan biaya usaha ke negara bertarif pajak tinggi seperti Inggris. Cara untuk mengatasi permasalahan tax avoidance ini adalah dengan keterbukaan informasi  atau kredit pajak. Namun, solusi tersebut baru dapat efektif jika semua negara patuh atas perjanjian ini, termasuk tax haven country. Pada kenyataannya, hal ini hampir mustahil diwujudkan karena tax haven country tidak ingin kehilangan keuntungan atas banyaknya arus investasi yang masuk ke negaranya. Oleh karena itu, pemanfaatan code of tax merupakan kesempatan utama yang dilirik oleh MNC dalam kompetisi tax avoidance menentukan dimana MNC akan membuka afiliasinya. Seperti yang diungkapkan Guttorm Schjelderup (2002) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul International Capital Mobility and the Taxation of Portfolio Investments , “Since portfolio investments are highly mobile internationally, national differences in tax rates may lead to competition over national tax bases, hamper the efficiency of international capital markets, and lead to the construction of tax minimizing portfolios”.
Kedua, setelah menentukan lokasi berdasarkan code of tax yang paling menguntungkan, kesempatan yang dimiliki MNC ada dalam tahap pengaturan struktur modal afiliasi. Code of tax di suatu negara mempengaruhi kebijakan struktur modal perusahaan. MNC memiliki jaringan modal yang besar di berbagai tempat dengan berbagai kondisi. Dibanding perusahaan lokal di Indonesia, MNC memiliki keunggulan dalam hal chanelling saat mencari pendanaan eksternal karena akses pada pasar modal global. Ketika tarif pajak naik, MNC menjadi kreatif dalam mengatur struktur modalnya. Di Indonesia, pembayaran bunga dapat menjadi pengurang pajak sedangkan dividen tidak, sehingga struktur modal afiliasi dapat didominasi oleh utang dengan bunga tinggi dari perusahaan induk. Akhirnya komposisi utang menjadi lebih besar daripada ekuitasnya. Ketika MNC berhutang kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar kembali cicilan dengan bunga sangat tinggi, hal ini dapat menjadi dividen terselubung ke perusahaan induk. Untuk menghadapi upaya tax avoidance ini, Indonesia perlu melakukan pembatasan tarif bunga pinjaman ke perusahaan induk. Hal ini membuktikan bahwa kesempatan MNC dalam mengatur struktur modal tergantung pada kebijakan code of tax di negara tempat afiliasinya berdiri. Pada tahun 2003, Mihir A. Desai, C. Fritz Foley and James R. Hines Jr. dalam jurnal ilmiah yang berjudul A Multinational Perspective on Capital Structure Choice and Internal Capital Markets menyatakan bahwa, “Ten percent higher local tax rates are associated with 2.8 percent higher debt/asset ratios, with internal borrowing particularly sensitive to taxes.
Ketiga, dalam tahap operasi di negara tempat afiliasinya berdiri, MNC berkesempatan melakukan tax avoidance dengan menentukan kebijakan realisasi capital gain. Code of tax terkait realisasi capital gain juga mempengaruhi perilaku MNC dalam menentukan ukuran serta jumlah investasi mereka dalam bentuk aset investasi. Lebih mikro pada perilaku, pengaruh ini terlihat dalam hal pengaturan timing perusahaan dalam mendisposal aset investasinya, keputusan pengakuan rugi laba atas disposal modal, serta keputusan merger atau penghapusan lini bisnis. Kapan dan berapa besarnya capital gain yang direalisasi menjadi peluang pengaturan besarnya pajak atas merger, Property Plant Equipment (PPE) perusahaan properti, dan capital gain pelepasan saham. Kebijakan pajak atas capital gain berbeda di setiap negara sesuai code of tax negara masing-masing. Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun 2008 telah memberi fasilitas menggunakan nilai buku untuk menetapkan nilai aset, tanpa harus melakukan persyaratan likuidasi dan tidak melakukan revaluasi sehingga capital gain tidak akan timbul. Namun, perusahaan tidak diperkenankan mengalihkan kerugian atau sisanya ke perusahaan baru pada saat merger. Artinya, afiliasi MNC di Indonesia tidak dapat memanfaatkan kesempatan kebijakan realisasi capital gain saat merger. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan MNC mengenai realisasi capital gain dalam upaya tax avoidance masih sangat tergantung pada code of tax di negara tempat afiliasi didirikan. “The micro analysis suggests that the realization of gains appears to be particularly shaped by tax incentives (Mihir A. Desai, 2003)”.
 Dari pemaparan di atas, kita mengetahui bahwa MNC memiliki kesempatan yang bertahap untuk melakukan tax avoidance. Dalam tahap awal, kesempatan MNC berkaitan dengan adanya perbedaan code of tax di berbagai negara sasaran holding atau afiliasi MNC didirikan. Setelah afiliasi berdiri, kesempatan tax avoidance selanjutnya terkait dengan pengaturan struktur modal dengan memperhatikan code of tax. Di tahap operasi, MNC berkesempatan memilih kebijakan realisasi capital gain juga dengan mempertimbangkan code of tax. Artinya, kebijakan mengenai pengaturan struktur modal dan realisasi capital gain dilakukan setelah MNC menilik dalam-dalam code of tax di negara tempat afiliasinya berdiri. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dari ketiga upaya yang dapat dilakukan oleh MNC, pemanfaatan perbedaan code of tax merupakan upaya utama untuk melakukan tax avoidance dan mendasari dua cara lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar